Minggu, 25 Mei 2014
Tentang Ira
Ira jarang sekali menangis dibanding anak-anak “normal” lainnya. Biasanya dia akan menangis jika merasa terganggu dan tidak senang, entahlah sebab pastinya itu pengamatanku saja karena Ira tak mampu mengkomunikasikan segala sesuatunya pada orang lain.
Sebab salah satu ciri anak autis adalah tidak mampu melakukan komunikasi bahkan beberapa autis tidak dapat berbicara walaupun mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak ada artinya.
Dan saat itu aku benar-benar kaget kalau Ira menangis karena aku marahi. Jujur aku menyesal, tapi saat itu spontan Ira kumarahi karena aku benar-benar khawatir. Dia menghilang saat di kolam renang, dan berhasil ditemukan di depan pintu masuk karena Habibi memperhatikannya dari jauh. Aku panik namun tak jadi marah, siangnya dia membawa gunting lalu menggunting buku-buku di loker setelah sebelumnya dia naik ke atas loker dan melompat.
Aku kaget dan langsung kupegangi Ira, memintanya untuk menatap mataku. Anak autis memang kurang sekali dengan kontak mata, maka jika ingin berkomunikasi dengan mereka buatlah mereka menatap mata kalian. Beberapa juga tidak menyukai pelukan, jika untuk menenangkan anak biasanya dengan cara memeluk mereka, tidak dengan anak autis mereka akan berontak dan berteriak.
"Ira tahu ini apa?" Tanyaku sambil memegang gunting
"Ini gunting Ira, gunting !" Ucapku jelas lalu ditirukan oleh Ira, "gunting."
"Ini untuk memotong tapi tidak untuk memotong sembarangan. Terus Ira naik loker dan lompat sambil bawa gunting itu bahaya! Ira harus tahu, dan ikuti aturan. Bu guru tidak sayang kalau Ira seperti itu lagi." Ucapku keras.
Bicara keras pada Ira tentu saja beda saat berbicara pada anak lainnya. Jangan kaget ketika kalian mengunjungi terapis yang sedang berbicara pada anak-anak ABK, kesannya mereka galak dan keras pada mereka, tetapi memang itulah caranya.
Dan entah, seolah mengerti perkataan dan perasaanku Ira pun menangis. Ah, andaikan kalian mendengar suara tangisannya menyayat hatiku, sungguh. Aku mendengar ada nada penyesalan di dalamnya, entahlah aku hanya merasa saja, karena tangisannya ini berbeda dengan tangisan yang biasa kudengar dari Ira.
Mungkin karena kami sudah sehati, jadi masing-masing sudah memahami (ah semacam soulmate saja). Oh ya, jika kalian memang berada di antara anak autis terimalah mereka dengan hati kalian. Karena mereka mampu merasakan dengan hatinya mana yang tulus menerima kehadiran mereka. Tidak mudah untuk mengerti anak autis dan mereka pun tak mudah pula menerima kehadiran seseorang untuk bisa mendekatinya.
Ah, masih banyak yang ingin kutuliskan tentang Ira. Semoga suatu hari nanti lagi.
Jumat, 23 Mei 2014
Surgaku Indonesia
Kata orang, Indonesia
negeri impian
Surga yang ditempatkan
di bumi oleh Tuhan
Namun kini, itu semua
cuma khayalan
Jauh dari kenyataan,
luput dari harapan
Indonesiaku, kini menyedihkan
Tubuhnya penuh luka
memilukan
Dimanakah kini hijau taman
surga
Merah meranggas tak tersisa
Inikah panorama negeri
khatulistiwa
Sedang keindahan seakan
tak bernyawa
Jangan tanyakan salah siapa
Seharusnya tangan ini
yang menjaga
Surga yang diberikan
tuk kita
Dengan cinta sepenuh
jiwa
Sebuah negeri titipan
Tuhan
Bernama Indonesia
Sabtu, 17 Mei 2014
Strong Muslimah
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa),”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa dan tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (QS. Al-Baqoroh
286).
Mungkin sebagian dari
kita sudah tidak asing dengan ayat terakhir surat Al-Baqoroh, atau malah sudah
hafal dengan ayat ini. Surat terpanjang di dalam Alquran ini, ternyata
mengandung sebuah nasihat dan doa indah di penghujungnya.
Poin nasihat terletak
pada kalimat awal yaitu, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya”.
Sebagai seorang manusia,
sudah pasti di dalam kehidupannya tidak lepas dari permasalahan/ujian dan
cobaan dalam hidup. Sudah ketetapan dari Allah atas apa yang terjadi pada tiap
diri seseorang. Namun sebagai seorang manusia yang lemah, kita sering terpuruk
saat ditimpa musibah ataupun diberi ujian oleh Allah. Bahkan kadang “menggugat”
Allah atas takdir yang berlaku pada diri, dan sering berkata bahwa Allah tidak
adil dan tidak sayang pada kita.
Padahal saat kita
membaca ayat tersebut, sudah dijelaskan bahwa seberat apapun ujian/permasalahan
yang diberikan Allah berarti kita sanggup memikulnya. Sudah diukur “kadar”nya
oleh Allah, karena tidak mungkin Allah akan mendzalimi hamba-Nya dengan
memberikan ujian yang terlalu berat diluar kemampuan seorang hamba.
Apalagi sebagai seorang
muslimah, yang secara fisik lebih lemah daripada kaum laki-laki, namun tidak berarti
kita boleh lemah saat diberi ujian oleh Allah. Bahkan ujian yang diberikan oleh
Allah dapat menunjukkan tingkat keimanan seseorang.
Belajar dari kisah
ketegaran seorang muslimah solehah, istri sekaligus ibunda seorang Nabi, yaitu
Siti Hajar. Ketika beliau ditinggalkan oleh sang suami, Nabi Ibrahim AS di
sebuah padang pasir yang tandus bersama anaknya yang masih balita, Ismail.
Awalnya dia sempat
bertanya kepada sang suami, mengapa dia tega meninggalkannya bersama si kecil
Ismail pada sebuah tempat yang gersang dan tak berpenghuni, tanpa air apalagi
makanan. Dan hanya satu jawaban yang ia terima, “Ini adalah perintah Allah.”
Ketika mendengarkan
jawaban suaminya, keraguan Hajar pun hilang. Karena ia yakin jika semua ini
adalah perintah dari Allah, sudah pasti Allahlah yang akan menjamin segalanya.
Demi memperjuangkan
hidupnya dan Ismail, Siti Hajar berlari antara bukit Shofa dan Marwah demi mencari
air karena kehausan karena kehausan. Dengan jarak yang cukup jauh, Hajar
berlari melintasi teriknya bukit namun air tak didapatinya, dia tetap berlari
hingga fisiknya mulai melemah, berulang kali dia berlari melewati bukit namun
tiada tanda-tanda keberadaan sang mata air. Di dalam keputusasaannya itulah
kemudian Allah memberikan pertolongan, Ismail kecil yang kehausan lalu menangis
sambil menjejak-jejakkan kakinya dan
qadarullah, air muncul dari bawah tanah yang dijejak Ismail tadi.
Betapa bahagianya
Hajar, ternyata Allah membalas usahanya dengan hasil yang tak terduga. Ia
berlari hingga tujuh kali, pada usahanya yang ketujuh itulah Allah memancarkan
sumber mata air yang tetap mengalir hingga kini, yaitu air zam-zam. Tidak hanya
sampai disitu saja Allah menghargai keimanan Hajar, bahkan perjuangannya
berlari mencari air diabadikan menjadi salah satu rukun haji, bernama Sa’i.
Di dunia ini tidak ada
yang mengetahui kesulitan dan solusinya kecuali Allah. Maka masih layakkah kita
depresi, stres, cemas dan galau ketika Allah sedang menguji kita. Yakinlah
bahwa ujian yang sedang diberikan Allah tidak sebesar ujian yang dihadapi Siti
Hajar, Asiyah istri Firaun, ataupun Maryam binti Imran karena tentu saja
keimanan kita tidak sebanding dengan mereka.
Ujian kita lebih banyak
yang bersifat duniawi, gagal masuk Universitas favoritlah, tidak lolos
wawancara kerja, gagal menikah dan lain-lain. Terkadang diuji seperti itu saja
sudah membuat kita tak enak makan tak enak tidur, dan dunia seakan mau runtuh
saja.
Padahal dalam ayat lain
juga Allah telah mengingatkan bahwa Dia akan memberi jalan keluar pada kita
dari arah yang tidak disangka-sangka. Selalulah berprasangka baik pada Allah,
dan ketika kita diuji berarti Allah sayang dan ingin selalu menghidupkan hati
kita agar selalu ingat pada-Nya.
Dan sudah seharusnya
sebagai seorang muslimah yang telah mengakui Allah sebagai Robb, tidak berkecil
hati dan putus asa apabila kita ditimpa ujian oleh Allah dalam bentuk apapun.
Selalu yakin bahwa segala hal terjadi atas kehendak Allah, kita hanya diminta
untuk berikhtiar sekuat tenaga, berdoa dan menyerahkan segalanya pada Allah
dengan tetap berprasangka baik pada-Nya.
Ketika musibah dan
ujian menerpa kita, hadapilah dengan tersenyum dan berkata,”I’m Muslimah and
I’m strong”.
Penghujung Mei
Untuk mata yang tak
lagi saling bersitatap
Maka, masih layakkah
hati berharap?
Seiring waktu yang tlah
lama berputar
Namun rerupa bayang tak
jua memudar
Sia-sia resahku
Mubazir pula rinduku
Karena cinta tak
berpihak padaku
Semu sgala imaji
Jiwa lara nan pucat
pasi
Lelah tuk bermimpi,
lagi
Harus kurelakan cintaku
mati
Karena,
Senja tlah membawamu
pergi
Di penghujung Mei
Oemahcinta,100514.
21:06
Rabu, 07 Mei 2014
Tips tentang telur
1. Cara Mengawetkan Telur
Agar telur
yang akan disimpan lama awet,maka sebelum disimpan dibilas dulu dengan air
bersih . kemudian rendam dalam larutan air kapur sirih dan garam selama 2 hari
2 malam. Kemudian keringkan baru simpan
2. Cara merebus telur yang retak
· Didihkan air dalam panci, lalu masukkan
beberapa tetes cuka dan sedikit garam,aduk sampai larut. Masukkan telur retak
satu persatu
· Sebelum direbus, oleskan dulu dengan garam
halus pada bagian yang retak
3. Agar kulit telur direbus tidak lengket
Kulit telur
sering lengket bila direbus. Untuk menghindarinya pada waktu rebusan telur
sudah mulai mendidih,tuangkan sedikit kapur sirih ke dalamnya.
4. Cara menghilangkan bau amis pada telur itik
Agar bau
amis telur itik hilang,sebelum dimasak ,digoreng dsb. Pecahkan terlebih dahulu
dan ditaruh pada piring atau mangkuk
Kemudian
lihat bagian kuningnya ,maka akan terlihat bintik putih.bintik tersebut kita
keluarkan. Karena bintik itulah yang menyebabkan bau amis pada telur tsb.
Minggu, 04 Mei 2014
Ai, My Bestfriend
“Aku mau menjadi dokter
di kampung ini, Fa,” begitu kata Ai padaku di suatu hari. Ah, tak kaget aku
mendengarnya, kau memang seorang gadis yang mulia. Sudah sejak SMP aku dan
Aizah bersahabat, mengukir masa-masa indah remaja bersama. Tak seharipun
terlewatkan tanpa bertemu dengannya. Hingga hampir seluruh penduduk kampung
mengerti bahwa jika ada Farah, maka selalu ada Aizah. Aneh rasanya jika salah
satu dari kita berjalan sendirian, tak jarang banyak orang yang iri dengan
persahabatanku dengan Ai, meskipun karakter kami berbeda. Ai seorang gadis yang
lembut, sedangkan aku cenderung emosional.
Menyenangkan rasanya
berboncengan sepeda saat pergi ke sekolah, lalu bermain di sawah. Berlomba
menaikkan layang-layang di tanah lapang, menggembala kambing di padang, semuanya
menyenangkan. Atau mencuri buah jeruk di kebun Wak Mamat, lalu bersembunyi
karena takut melihat Wak marah, sungguh itu adalah kenangan yang takkan pernah
aku lupakan.
Aku memang tak
dilahirkan di kampung ini, melainkan anak ibukota yang mengikuti ayah bertugas.
Maka betapa bahagianya merasakan kehidupan yang berbeda dengan hidupku
sebelumnya, apalagi ketika Tuhan memberi sahabat yang teramat baik seperti
Aizah.
Orang bilang, setiap
ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan hukum itu berlaku pula untuk kami.
Pengumuman kelulusan SMU yang seharusnya membahagiakan untuk kami, justru semakin
mendekatkan pada momen-momen dramatis.
Karena selepas SMU,
kami harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Aizah akan mengambil
program kedokteran pada sebuah universitas negeri yang ada di kota Bukittinggi.
Sedangkan aku yang terobsesi berkeliling dunia dan menjadi seorang diplomat,
harus melanjutkan kuliah di Jakarta, kota kelahiranku. Sebenarnya aku sudah
memaksa Mama dan Papa agar membiarkanku kuliah bersama Ai. Namun keinginan ini
ditolak, karena Papa berniat meminta mutasi ke Jakarta. Sungguh, kesedihan
menggelayutiku setiap hari. Sejenak kulupakan hasrat menggebu untuk menjadi
seorang diplomat, aku ingin tinggal di sini saja. Di kampung yang sudah
terlanjur aku cinta, dan sahabatku Ai yang tiada duanya. Tak pernah aku bertemu
seorang sahabat seperti dia, seorang sahabat yang selalu mengerti akan diriku.
Tempat berbagi suka duka, mengingatkanku kala aku lupa dan berbuat salah.
Mengimbangi saat emosiku tak menentu.
Dan perpisahan kami,
adalah sebuah momen menyedihkan yang tak pernah aku lalui sebelumnya. Sebuah
perpisahan dramatis, layaknya adegan sepasang kekasih yang dipisahkan. Aku
menangis dan memeluk Ai erat, seperti takkan pernah bersua lagi. Aku menyadari
bahwa akan berpisah berkilo-kilo meter jauhnya dari Ai, sahabatku
Kulalui hari-hari
beratku di ibukota, namun aku beruntung Ai adalah seorang sahabat yang selalu
menguatkanku. SMS dan telepon adalah sandaranku untuk tetap bisa tertawa
dengannya. Kadang kami mengirim email untuk bertukar kabar.
Tahun berlalu, tentunya
komunikasi tak sesering dulu. Apalagi rutinitas kampus menghabiskan banyak
waktuku, begitu juga dengan Ai. Dia mengambil jurusan Kedokteran, pasti lebih
sibuk dariku.
Tapi kali ini berbeda,
sudah sebulan lebih dia tak menjawab email dan SMSku, nomor ponselnya pun tak
aktif. Ada apa ini?
Apakah dia teramat
sibuk, sampai sama sekali tak ingat padaku? Hingga akhirnya kukirimkan surat,
berharap dia akan membacanya. Atau mungkin orang rumah akan membaca dan
memberikan padanya.
****
Aku marah dan kecewa.
Apa kau telah sengaja melupakanku Ai? Bahkan dua kali surat yang kukirimkan
padamu, tak satupun yang kau balas. Apa kau sudah punya teman-teman baru yang
membuatmu lupa padaku?
Liburan semester ini
aku bertekad pergi ke Padang. Jauh dari keramaian Jakarta, menikmati indah dan
sejuknya suasana kampung. Rindu makan rendang dan kue lemang, juga rindu
berjumpa Aizah.
Ai pasti kaget
melihatku sekarang, memakai jilbab seperti yang pernah dia katakan bahwa wanita
muslimah wajib menutup auratnya. Ai, aku memang belum bisa sesolihah dirimu,
tapi aku pasti bisa. Kubawakan gamis dan jilbab warna senada, oleh-oleh dari
Jakarta seperti yang Ai pernah minta. Aku sengaja membelinya dua, satu untukku
dan satu untuk Ai, agar orang mengira kita anak kembar. Pasti lucu dan
menyenangkan.
***
Kuketuk pintu rumah Ai
berulangkali, kosong seperti tak berpenghuni. Lalu muncullah Mamak Ida dari
balik pintu, masyaAllah, rindu benar aku kepada Maknya Ai. Dia langsung
tersenyum dan menangis melihatku, memelukku erat. Bahagia rasanya bahwa aku
masih dirindukan, namun kenapa tangisan Mak Ida tak jua berhenti?
“Ai ada di rumahkah
Mak?” Tanyaku. Namun Mak Ida malah menangis semakin kencang.
“Mak, ada apa?” Tanyaku
bingung
“Kemarilah Fa,” ucap
Mak sambil membimbingku untuk duduk.
“Aizah sudah
meninggal,” ucap Mak Ida sambil tersekat
“Apa?” Ucapku kaget
“Mak tidak sedang
bercanda kan?”
***
Aku tergugu di samping
batu nisan yang bertuliskan nama Aizah. Tangisku tak jua berhenti, hatiku
sampai nyeri menerima kenyataan bahwa Ai telah tiada. Bahkan aku jatuh pingsan
kala Mak Ida bercerita bahwa Ai terkena musibah, dia tertabrak mobil saat
pulang dari kampus.
Ya Allah, aku tak
percaya telah kehilangan seorang sahabat terbaik dan terhebat dalam hidupku.
Aku akan selalu berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni segala dosamu dan
semoga kau selalu disayangi Allah seperti aku menyayangimu. Selamat jalan Ai,
sahabat sejatiku.
Langganan:
Postingan (Atom)