Luruh,
Lihatlah, salju turun di kotamu.
Singgah di pipiku, membekukan kalbu. Adakah kau rasakan getaran ini?
Aku, ya aku. Orang yang dahulu
tak pernah peduli dengan perasaanmu. Yang tak pernah menganggap adanya hadirmu.
Kini, rela seberangi samudera dan lintasi benua demi menemukanmu.
Ingin kunapak tilasi perjalananmu
menemui orang yang kau cintai. Orang yang demi dia, kau acuhkan segala
kenyamanan dunia. Tapi apa? Dia tak sedikitpun menghargaimu bukan? Tak juga
mengerti apa arti ketulusan, hanya tersilap dengan kemewahan.
Kau tinggalkan peluk hangat
keluarga, demi jumpainya. Lalu berbalas apa? Senyum kecut dan perasaan dingin,
lebih dingin dari guyuran salju yang turun di malam hari.
Dan, orang itu aku. Akulah
manusia bodoh yang telah berhasil mencampakkanmu, melumat habis segala rasa
yang tumbuh di dada. Aku kejam bukan? Bahkan kata kejam tak mampu mewakili
betapa “hebat”nya aku membalas perasaanmu.
Kini, aku dengan segala sesal
yang memerih dada, ingin membalikkan takdir dan mengubah cerita. Bodoh, mana
bisa!
Karma, mereka menyebutnya. Apa
yang dulu kau rasa, kini aku ikut menanggungnya. Bahkan lebih perih.
Senja meremang, dan aku
sendirian. Tersesat menapaki jejakmu, kau dimana?
Sejuta pesona yang menjelma di
depan mata, tak sedikitpun mampu mengubah arahku menuju hatimu. Lupa aku dengan
dunia, dan hanya inginkanmu, cinta.
Jika mereka berkata, banyak jalan
menuju Roma. Lalu, mengapa tak jua kutemukan sebuah jalan menuju hatimu?
Maafkan aku cinta, tak pernah
sedikitpun peduli pada sebulir airmatamu yang tumpah. Hingga kini harus
kurasakan sendiri, betapa airmataku mengering karena merinduimu.
Dunia, berdamailah denganku dan
katakan dimana malaikatku berada. Adakah ia sedang sendiri dan berusaha
menyembuhkan luka hatinya? Atau ia sedang membakar seluruh ladang cinta yang ia
tanam untukku? Aku hanya sedikit berharap ia mengingatku.
Angin, berbaik hatilah padaku.
Kirimkan getar rindu yang memasrah ini untuknya. Mampukan ia untuk mendengar jeritan
hatiku yang kian melemah.
Bumi, tunjukilah aku. Di arah
mana ku harus menuju, sedang bayangnya telah samar dikikis keraguanku dulu.
Sebab langkahku kian goyah, sedang perasaan ini semakin membuncah. Aku harus
menemukannya.
Langit, tataplah aku. Sang
congkak ini sedang terseok, ingin menebus dosa. Kuingin menemuinya di
penghujung senja, segera.
Lalu apa dayaku, kau menghilang
sempurna dari netra ini. Masih mampukah kumencari, atau kau yang memilih tuk
bersembunyi, tak ingin ditemukan?
Aku tersudut, tersesat di hatimu
wahai pemilik bola mata biru. Aku lelah dengan segala penyesalan yang menyesak
batin ini.
Dengarlah kidung rindu yang
kumainkan untukmu. Lemah memasrah, dari balik dawai-dawai yang rapuh.
Temukanlah aku duhai malaikatku,
sungguh aku rindu.
ruangrindu,120914