Senin, 11 Mei 2015

Pujangga "Kawak"an



Kumasuki ruangan kelas, dan mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Untuk anak berusia sekitar 4 tahunan, bermain lego termasuk salah satu yang menarik minat mereka. selain aktifitas fisik tentunya. Jangan tanya tentang kegaduhan saat free play ini, bagi yang tidak biasa, aku yakin kondisi seperti ini bisa membuat sakit kepala (haha, curhat). Tapi ini betul.

Anak-anak berlarian, tertawa, bertengkar dan menangis karena berebut mainan itu hal yang lumrah terjadi. Seperti kala itu, baru sebentar kududuk untuk mengawasi dan melepas lelah, tiba-tiba datanglah Yusuf sambil menangis tersedu.

“Ada apa Mas, kok menangis?” Tanyaku sambil menampakkan wajah penasaran (padahal wajah asliku adalah lelah, tetapi menjadi seorang guru TK itu harus lebay, eh tidak harus ding)
“Itu Anes, gak mau berbagi mainannya. Punyaku direbut, padahal dia sudah main balok. Legonya juga diambil.” Ujarnya sambil terisak

Padahal aku sedang lelah, plus pusing. Kondisi seperti ini menguji kesabaranku tiap hari.
“Udah, kamu duduk aja di sini deket Bu Guru. Dengerin ya Yusuf, kamu itu laki-laki kan? Masa sih kamu nangis hanya gara-gara mainan?” ujarku pada laki-laki berusia empat tahun itu, “kamu tahu gak, tidak pantes kamu nangis hanya gara-gara soal sepele seperti itu. Dalam hidup ada hal-hal yang layak kamu tangisi, dan itu bukan mainan.” Ucapku serius sambil menatapnya (Aslinya sih, aku lagi capek dan malas turun tangan, upss)

“Dan aduh, Anes itu perempuan. Masa sih kamu nangis karena perempuan? Ayo kuat, main lagi saja sana. Kalau Anes bikin kamu nangis, ada temen lain yang bisa bikin kamu tertawa.” Aku makin berapi-api
Sungguh aku tidak bohong, Yusuf langsung diam dan mendengarkan. Entah dia mengerti atau tidak. Setelah itu dia langsung beranjak dari dekatku dan bergabung, bermain lagi dengan temannya yang lain. Dan yang aneh justru diriku sendiri. Kenapa bisa ngomong seperti itu pada anak kecil? Aku bengong. Haha 

Padahal seharusnya ketika bicara dengan anak, gunakan bahasa yang mudah dipahami anak. Tapi tak salah juga kita berpujangga pada anak. Siapa tahu kelak kau kan jadi pujangga, Nak. Pujangga betulan tentunya, tidak seperti gurumu ini. Hihi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar