Kumasuki ruangan kelas, dan mengawasi anak-anak yang
sedang bermain. Untuk anak berusia sekitar 4 tahunan, bermain lego termasuk
salah satu yang menarik minat mereka. selain aktifitas fisik tentunya. Jangan
tanya tentang kegaduhan saat free play ini, bagi yang tidak biasa, aku yakin
kondisi seperti ini bisa membuat sakit kepala (haha, curhat). Tapi ini betul.
Anak-anak berlarian, tertawa, bertengkar dan menangis karena
berebut mainan itu hal yang lumrah terjadi. Seperti kala itu, baru sebentar
kududuk untuk mengawasi dan melepas lelah, tiba-tiba datanglah Yusuf sambil menangis
tersedu.
“Ada apa Mas, kok menangis?” Tanyaku sambil menampakkan
wajah penasaran (padahal wajah asliku adalah lelah, tetapi menjadi seorang guru
TK itu harus lebay, eh tidak harus ding)
“Itu Anes, gak mau berbagi mainannya. Punyaku direbut,
padahal dia sudah main balok. Legonya juga diambil.” Ujarnya sambil terisak
Padahal aku sedang lelah, plus pusing. Kondisi seperti ini
menguji kesabaranku tiap hari.
“Udah, kamu duduk aja di sini deket Bu Guru. Dengerin ya
Yusuf, kamu itu laki-laki kan? Masa sih kamu nangis hanya gara-gara mainan?” ujarku
pada laki-laki berusia empat tahun itu, “kamu tahu gak, tidak pantes kamu
nangis hanya gara-gara soal sepele seperti itu. Dalam hidup ada hal-hal yang
layak kamu tangisi, dan itu bukan mainan.” Ucapku serius sambil menatapnya
(Aslinya sih, aku lagi capek dan malas turun tangan, upss)
“Dan aduh, Anes itu perempuan. Masa sih kamu nangis karena
perempuan? Ayo kuat, main lagi saja sana. Kalau Anes bikin kamu nangis, ada
temen lain yang bisa bikin kamu tertawa.” Aku makin berapi-api
Sungguh aku tidak bohong, Yusuf langsung diam dan
mendengarkan. Entah dia mengerti atau tidak. Setelah itu dia langsung beranjak
dari dekatku dan bergabung, bermain lagi dengan temannya yang lain. Dan yang
aneh justru diriku sendiri. Kenapa bisa ngomong seperti itu pada anak kecil? Aku
bengong. Haha
Padahal seharusnya ketika bicara dengan anak, gunakan bahasa
yang mudah dipahami anak. Tapi tak salah juga kita berpujangga pada anak. Siapa
tahu kelak kau kan jadi pujangga, Nak. Pujangga betulan tentunya, tidak seperti
gurumu ini. Hihi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar