Menikah
dengan jodoh impian adalah dambaan bagi setiap insan. Namun meraih harapan
untuk bisa bersatu dengan sang pujaan, mengarungi hidup dengan jodoh impian,
ternyata tak selalu mudah. Jangankan untuk bersatu, terkadang proses untuk
“menemukan” jodoh impian pun bagi sebagian orang sangatlah sulit.
Kadang
semakin dikejar, semakin menjauh. Saat kita tidak peduli, dia malah makin
mendekat. Ada pasangan yang sudah hampir menikah, segala persiapan sudah
lengkap, tapi ternyata kandas juga akhirnya. Ada juga yang belum punya
perencanaan menikah, ternyata secara mendadak dan tidak terduga ia dipertemukan
dengan jodohnya lalu tak lama mereka menikah.
Asam
di gunung, garam di laut akhirnya bertemu juga di belanga. Itulah rahasia dari
sebuah jodoh. Meski harus menempuh cara
yang panjang dan tak mudah, jika memang Allah telah gariskan untuk
bersama, apapun caranya mereka pasti akan dipertemukan di pelaminan.
Sekalipun terkadang harus merasakan sakit, putus asa ketika
berusaha untuk meraihnya, dan harus menerima kenyataan bahwa impian untuk
bersama sang jodoh idaman harus terkubur rapat-rapat. Namun tak jarang juga,
saat kita merasa telah menyerah dengan banyaknya halangan untuk bersama,
tiba-tiba Allah memberi jalan yang tak disangka-sangka.
Ini
adalah sebuah kisah dari seorang teman, dan kebetulan sedikit banyak aku ikut
terlibat dalam kisah perjuangan cinta mereka.
Sebut
saja namanya Arti. Dia adalah anak kedua dari pasangan bapak dan ibu Ahmad. Sebelum
ini, aku tak begitu mengenal Arti, karena aku adalah teman adiknya, yang
bernama Arni. Aku dan Arni sangatlah akrab, hingga otomatis aku dan keluarganya
seumpama keluarga dekat.
Namun
dari seluruh keluarga Ahmad ini, yang paling tidak kukenal adalah mba Arti.
Mungkin karena selama ini, dia tinggal di Bandung, dan menjadi seorang
mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di sana. Setahuku kuliahnya hampir
selesai, dan beberapa bulan lagi ia akan di wisuda itu cerita yang kudengar
dari cerita kedua orangtuanya.
Ayah
dan ibunya sangat bangga kepada Arti karena telah berhasil menguliahkan Arti
hingga hampir tamat, meskipun mereka cuma berasal dari keluarga sederhana. Pak
Ahmad adalah seorang penjaga sekolah sedangkan istrinya ikut membantu dengan
membuka kantin di sekolah yang sama. Meski berasal dari keluarga yang sederhana
tapi semangat mereka untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anak sangatlah
besar. Anak pertama mereka cuma lulusan D3, dan kini sudah menikah.
Dari
cerita mereka aku tahu kalau bapak dan ibu Ahmad ini sangat sayang sekali
dengan mba Arti. Dia adalah sosok yang selalu dijadikan contoh untuk
adik-adiknya, selain pintar dia juga solehah. Tak jarang aku mendengar betapa
mereka sangat menyanjung sosok mba Arti di depanku, sehingga sosok bernama Arti
terlalu sempurna di mataku. Hingga saat dia pulang ke rumah, aku agak sungkan
untuk bercerita dengannya. Tidak seperti anggota keluarga Arni yang lain.
Hingga tibalah hari
itu.
“En, kamu tolongin mba
Arti ya.” Pinta Arni tiba-tiba
“ Tolong apaan?”
Tanyaku kaget
“Mba Arti sekarang di
rumah, dan dia butuh bantuan.”
“Emang udah selesai
kuliahnya, bantuan apa?”
“Belum, tinggal nunggu
wisuda. Tapi selama itu mba Arti gak boleh ke Bandung lagi, dia gak boleh
kemana-mana. Bapak sama mamah marah besar.” Terang Arni
“Haahh..?” Jawabku
kaget
Lalu
Arni menceritakan semuanya padaku, katanya seminggu yang lalu mba Arni pulang
ke rumah. Namun kepulangannya kali ini agak lain dari kepulangan yang biasa.
Biasanya tiap liburan dia pulang untuk menghabiskan waktunya bersama
keluarganya. Kali ini selain mengabarkan bahwa dia sudah lulus dan akan wisuda
bulan Oktober mendatang, tapi juga dia ingin memberitahukan orangtuanya tentang
sebuah hal.
Kepulangannya
kali ini ditemani oleh seorang lelaki, lelaki yang kemudian aku panggil sebagai
Aa Yo. Maksud mereka datang adalah untuk memperkenalkan Aa Yo kepada orangtua
Arti. Ternyata di Bandung sana Arti sudah dita’arufkan oleh Murobbinya dengan
seorang ikhwan yang namanya Wahyoko, namun lebih akrab disapa Aa Yo.
Dan
nampaknya ta’aruf di antara keduanya berjalan lancar, dan dari kedua belah
pihak telah setuju untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu pernikahan. Hingga
akhirnya mereka memutuskan untuk memberitahukan rencana ini kepada kedua
orangtua masing-masing. Keluarga Aa Yo sepertinya setuju saja dan mendukung
rencana mereka berdua. Tetapi tidak dengan kedua orangtua Arti, rencana baik
mereka ditolak mentah-mentah. Bahkan Aa Yo, langsung diusir oleh Bu Ahmad saat
itu juga. Dan mengancamnya dengan keras jika dia sampai berani datang lagi.
Dalam
kasus ini yang paling terpukul dan paling keras penentangannya adalah Bu Ahmad.
Karena setelah kejadian itu, kebetulan aku bersilaturahmi ke rumahnya. Mungkin
karena kita sudah terlalu akrab, dan mereka menganggapku seperti anaknya
sendiri, maka tanpa sungkan mereka berbagi cerita kepadaku.
Dari
sinilah akhirnya aku tahu, bahwa alasan utama mereka menolak keinginan Arti adalah
mereka merasa shock. Mereka kecewa, karena belum juga Arti resmi menyandang
gelar sarjana, wisuda pun belum terlaksana, tetapi sudah memutuskan ingin
menikah.
Orangtuanya
sangat berharap bahwa dengan sekolah tinggi, kelak ia akan bekerja memperoleh pekerjaan
yang baik, berpenghasilan tinggi dan dapat mengubah kondisi perekonomian
keluarga menjadi lebih baik. Tapi kenyataannya, apa yang didapat sekarang?
Lulus saja belum, tapi sudah berani mengajukan niat untuk menikah.
Lalu
kedua orangtua Arti bertindak tegas padanya, dia tidak diijinkan pergi
kemana-mana, mereka juga memutuskan untuk tidak memberi kesempatan bagi Arti
untuk wisuda.
“Tak perlu wisuda,
kalau mau wisuda, bayar saja sendiri!”
“Kalau mau menikah
dengan dia, terserah. Bapak dan Ibu
tidak akan pernah datang. Anak-anak Ibu masih banyak, lebih baik kehilangan
satu anak, Ibu ikhlas.”
“Untuk apa memelihara
anak yang tidak tahu berterimakasih dan tidak tahu diri seperti kamu!” Ucap Bu
Ahmad suatu hari pada Arti.
Sungguh,
aku yang melihat sendiri bagaimana kecewanya kedua orangtua ini. Anak yang dulu
dihadapanku begitu mereka banggakan, tapi kali ini mereka begitu tega mau
mengusirnya. Sungguh perubahan yang amat drastis.
Mba
Arti pun tak kalah sedihnya, semenjak itu kami jadi akrab. Bertiga bersama
Arni, kami sering ngobrol. Seluruh keluarga besar Arti seakan memusuhinya, dan
menjaga jarak, kecuali Arni karena memang mereka dari dulu sangat akrab
dibanding saudara lainnya. Disamping itu mereka berdua juga mempunyai pemahaman
yang sama.
Lalu
keluarlah sebuah ide dari Arni, memintaku untuk menolong mba Arti.
Gubrakk!!
“Masalah pelik begini
kok malah aku diikutsertakan,” ujarku mendelik.
Setelah
melalui perdebatan yang tidak seimbang, 2 : 1, maka aku pun menyerah. Setelah
dipikir memang Ibu Ahmad agak kelewatan, beliau tidak bisa menahan emosi,
sampai akhirnya gelap mata dan berbuat kasar pada salah satu putri kesayangan
mereka. Memang awalnya aku juga bersimpati dengan mereka, harapan mereka
terhadap anaknya yang begitu besar tiba-tiba musnah, meski aku belum menjadi
orangtua namun aku sedikit bisa merasakan kekecewaan itu. Namun, sikap yang
ditunjukkan mereka terhadap Arti tak harus seekstrim itu.
Aku
diminta mba Arti untuk menjadi “penghubung” antara dia dan Aa Yo serta
Murobbinya yang tinggal di Bandung. Karena Bu Ahmad melarang penggunaan hp, dan
mewanti-wanti anak-anaknya yang lain untuk membantu mba Arti. Beliau sengaja
memutus semua akses mba Arti dengan Aa Yo juga dengan Murobbinya dan seluruh
akses bernama “Bandung”.
Aku
dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar, karena aku orang luar yang dekat
dengan keluarga ini. Sehingga orangtua Arti tidak akan curiga kalau aku sering
bolak-balik main ke rumah, karena aku sudah biasa.
Lalu
sandiwara itu dimulai, aku yang mengabari Aa Yo tentang perkembangan mba Arti
dan keluarganya di Tegal. Termasuk menentukan jadwal yang tepat kapan mba Arti
menelpon Aa Yo, Murobbi dan kawan kuliahnya untuk sekedar menanyakan info
kampus terbaru. Kadang aku datang ke rumah, tapi juga kita mengadakan pertemuan
singkat di jalan agar orangtua Arti tidak terlalu curiga.
Selama
masa “penahanan” ini akhirnya mba Arti memutuskan untuk bekerja. Aku sendiri
tak percaya, seorang akhwat cantik yang sebentar lagi menyandang gelar Sarjana
Ekonomi bekerja sebagai buruh pabrik rokok di kotaku. Tak ada pilihan lain
katanya, meski ia sendiri tak mau bekerja di perusahaan rokok tersebut.
Terkadang
aku pun masih berbincang-bincang dengan Pak Ahmad dan Bu Ahmad, namun tiap kali
kami berbincang selalu saja membahas tentang Arti. Termasuk hari itu, betapa
terkejutnya aku ketika mereka memberitahuku bahwa mba Arti akan dijodohkan
dengan seseorang, sebut saja Yono.
Ah,
saat itu kondisinya semakin memburuk. Pasangan Ahmad ternyata “memaksa” mba
Arti untuk menikah dengan mas Yono. Anak dari teman dekat dekat Bu Ahmad,
alasannya dari dulu merekalah yang membantu keluarga Ahmad, termasuk saat
mereka meminjam uang untuk biaya kuliah mba Arti.
Sudah
pasti mba Arti, menolak mentah-mentah rencana tersebut. Namun semakin menolak,
maka semakin kencanglah tekanan yang dia peroleh. Hingga suatu hari dia
memintaku untuk menemaninya menemui Aa Yo di Cilacap, tempat tinggal asli Aa Yo.
Rencana “pelarian” sejenak telah disusun, kita tak mungkin menemuinya di
Bandung karena waktunya tidak akan cukup.
Kita
berdua pergi pagi-pagi, kebetulan mba Arti biasanya masuk kerja pagi. Dengan
tetap memakai seragam kerja dia menjemputku ke terminal, menikmati perjalanan
sekitar 4 jam. Aku jadi penasaran seperti apa sih Aa Yo ini, orang yang selama
ini cuma aku dengar suaranya lewat telepon.
Dan
akhirnya kami pun bertemu, tidak membuat pertemuan di restoran, kafe atau
apapun. Tapi kami bertemu di masjid, dan sosok Aa Yo memang sosok yang santun,
berwibawa dan dewasa, layak untuk dijadikan pemimpin. Entah alasan apa yang
membuat orangtua Arti tidak suka, apa karena dia tidak kaya. Tapi dia sudah
bekerja di sebuah perusahaan coklat terkenal di Bandung.
Perjalanan
yang lama, perjuangan yang panjang hanya dituntaskan dengan pertemuan selama
dua jam saja. Kukira mereka akan membahas tentang apa, membuat gebrakan apalah
atau mungkin kawin lari dalam pikiranku. Tapi ternyata mereka hanya membahas
kata “sabar”. Oh My God, setelah semua yang terjadi, dan usaha keras untuk
bertemu yang ada hanya kata sabar?
Keadaan
tak semakin membaik, mba Arti semakin “ditekan”. Tak lama setelah pertemuan
itu, Aa Yo kembali menemui orangtua mba Arti. Namun seperti pertemuan
sebelumnya, dia kembali diusir dan justru dipertemukan dengan calon yang
rencananya akan dinikahkan dengan mba Arti. Emosi orangtua mba Arti masih saja
memuncak, malah semakin memaksa mba Arti untuk segera menikah dengan lelaki
pilihan mereka. Jika tidak, dia dipaksa untuk mengembalikan uang yang selama
ini digunakan untuk membiayai kuliahnya, ancamannya kali ini tidak main-main.
Lalu
di suatu pagi, mba Arti berkata padaku bahwa dia menyerah.
“Aku ingin menjadi anak
yang berbakti, seperti mereka dulu menganggapku,"
“Aku memang mencintai
Aa Yo, tapi jodohku mungkin adalah Mas Yono.”
“Rasanya menyedihkan
ketika kita dianggap durhaka oleh orangtua sendiri. Mungkin aku tak boleh
selalu egois, tak ada salahnya membahagiakan mereka ketika masih bisa. Meski caranya harus seperti ini.”
Ujarnya sambil terisak.
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kisah ini sudah
selesai, aku tak pernah berkomunikasi lagi dengan mba Arti ataupun Aa Yo.
Hingga suatu hari Arni datang, dan memintaku untuk datang ke rumahnya.
“Mamah sudah tahu semuanya
Mba, bahwa selama ini Mba lah yang menjadi penghubung diantara mba Arti dan Aa
Yo.” Terang Arni dengan raut pias.
Yah, aku terima saja resikonya. Tak salah lagi, aku
langsung di sidang dihadapan pasangan Ahmad. Beribu cacian yang kudapat,
seperti orang yang duduk di kursi pesakitan tanpa didampingi pengacara untuk
membela. Termasuk Arni, dia hanya diam saja. Meski aku yakin pasti dia pun
takkan terima, tapi baguslah jika dia bicara mungkin malah urusannya makin
panjang.
Aku tak melihat Arti di sana kala itu, dimana dia,
bagaimana keadaannya, jadikah ia menikah dengan Mas Yono?
Bulan berlalu, dan tak
pernah tahu lagi kelanjutan kisah ini. Kunjunganku ke rumah mereka, sengaja aku
kurangi. Hingga suatu hari, Arni datang ke rumahku sambil membawa undangan.
Ternyata undangan pernikahan mba Arti dan Aa Yo. Masya
Allah, aku benar-benar kaget sekaligus bahagia. Bagaimana bisa?
Tapi aku tak peduli,
dan tak ingin juga bertanya. Saat hari pernikahan itu, benar-benar yang kulihat
adalah dua orang yang kutemui di Cilacap. Yang bertemu lalu hanya membahas
sabar, dan aku gemas sekali dibuatnya.
Lihatlah
perjuangan mereka, dan tampak semua keluarga berkumpul dan berbahagia. Kisah
yang menakjubkan dan aku bangga menjadi bagian dari kisah mereka. Semoga Allah
memberkahi pernikahan kalian, yang dilaksanakan pada bulan Syawal. Pasangan
berbahagia ini sekarang telah dikaruniai Allah tiga orang anak, Alhamdulillah.
Inilah buah kesabaran dan kerja keras yang ikhlas, Allah pasti memudahkan.