Kamis, 28 Mei 2015

Tunggulah

kalau ada yang bertanya, aku mencintainya atau tidak. Maka jawabku adalah, "entah".

Sungguh, aku pun tak tahu. Seperti halnya tumbuhan, bukan sehari ia butuh waktu untuk bisa tumbuh besar, berbatang kokoh, berdahan rindang, berbunga lalu berbuah.

Bukankah awalnya, ia hanya sebutir benih? Dan sebelum disemai dibutuhkan waktu untuk menggemburkan tanah. Lalu ditanam, dipupuk, dan disiram. Setelah itu dirawat, disiangi dari gulma.



Berhari, berminggu hingga berbulan ia akan muncul tunas lalu perlahan tumbuh. Dan sekarang, ia menjadi sebuah pohon besar yang rindang dan berbuah lebat. Mudahnya, anggap itu sebagai sebuah perasaan cinta. Cintaku tidak mudah tumbuh dan tiba-tiba menjadi rindang begitu saja. Hatiku tidak memproduksi perasaan cinta dengan tiba-tiba. Butuh waktu. It's just a matter of time, i'm sure. Perlahan saja, bersabarlah. Yah, kau pasti khawatir itu wajar saja. Jangan kau merasa bahwa cintamu hanya bertepuk sebelah tangan saja. Please don't worry.



Perbesar saja rasa cintamu, aku kan mampu merasainya. Perkuat saja yakinmu, aku kan mampu merabanya. Sungguh, tiada yang kuragu dari dirimu ini hanya tentang sedikit waktu.

Biar cintaku tumbuh dengan sendirinya, biar ia merindang dan berbunga selayaknya. Tepat pada waktunya dan indah pada musimnya. Usah risau tentang rasamu yang belum berbalas, mungkin belum saatnya ia memetik kuncup. Tunggulah sekejap sampai kuncup-kuncup bermekaran. Sekalian mampu kau hirup jua harumnya.

Lalu kau kan melihat sebuah bunga mekar bermahkota indah nan harum. Tepat pada masanya, bersemi pada musimnya.



Itulah cintaku, dear.



29 Mei 2015, 12:43 am

Rabu, 27 Mei 2015

Senja Berpulang

Apa yang kau tahu tentang senja?



Bagiku, ia bukan sekedar mentari yang kelelahan dan bersiap 'tuk sembunyi dari balik selimut cakrawala. Bukan pula tentang semburat jingga yang terlukis di langit. Ia bagiku merupakan kumpulan-kumpulan rindu yang terlantar.



Aku sendiri tak terlalu mengerti, mengapa teramat mencintai senja. Padahal terkadang ia hanya membuat sesak saja. Sebab, hanya karena menunggumu, aku tak pernah sekalipun melewatkan kepergian senja. Sesekali berharap, ketika senja berpulang saat itulah kau tiba-tiba datang.



Itu hanya sebuah ingin, nyatanya penantian padamu terkadang membuatku terkapar. Entahlah di samudera yang mana kau sedang terdampar. Aku di sini hanya mampu meneriaki camar-camar yang beranjak pulang ke peraduan.



Di reriuh debur ombak itu, mampukah kau dengar teriak-ku?

Angin laut dan ombak pun menyatu, saling bersisian berlari mengantarkan kepergian senja. Lihat, dunia kian temaram. Namun tak se-temaram hatiku, yang kian mengabut pilu.



Mentari 'tlah berpulang sekarang, penuh rasa bangga mampu memberi cahaya pada dunia.

Dan kepulangan senja pun seakan mengiringi pula "kepergian"mu selamanya dari hidupku. Inikah mau-mu?



Sekarang, senja boleh saja pergi. Namun ia pasti 'kan datang lagi esok hari. Tetapi kau?



Bilakah masanya kau kan kembali lagi di hidupku?

Pada bilangan senja yang keberapa, kau 'kan kembali hadir dan melukiskan rona jingga pada hidupku?



Ataukah, kau hanya akan menjadi malam selamanya? Suguhkan pekat di hari-hariku. Tinggalkan temaram di hatiku dan sisakan airmata di hidupku.



Untuk kau yang takkan pernah kembali, aku hanya mampu menatap senja sore ini. Menggurat wajahmu pada mega, bisikkan namamu di embusan lemah bayu. Dan berkata, "Aku 'kan selalu merindu".



Kini senja 'tlah berpulang sayang, namun wajahmu takkan pernah terbenam.


27 Mei 2015

Selasa, 19 Mei 2015

Pendaki Galau

"Hey, kamu mau mendaki?"



"Iya," jawabku tanpa melihat ekspresi laki-laki yang duduk di depanku. Aku tahu, dia pasti akan menanyakan hal ini karena sering sekali kuposting tentang pendakian.



"Jangan, aku gak setuju deh. Itu berbahaya, terlalu beresiko apalagi kamu perempuan." Jawabnya



Aku tak terlalu fokus menatap wajahnya saat ia bicara, namun dari intonasinya mampu menggambarkan rasa tidak setujunya.



"Kenapa? Kamu kan tau kalau aku suka jalan-jalan. Dan mendaki adalah salah satu hal yang harus ingin sekali aku lakukan. Pasti seru." Jawabku bersemangat



"Iya, aku tahu. Aku gak pengen kamu kenapa-napa, jangan mendaki dulu yah. Nanti saja kita mendaki berdua, biar aku bisa jagain kamu."



"Yeeey, kapan itu? Kelamaan!"



"Itu tergantung kamu".



"Kok aku sih? Aku ya pengennya secepatnya."



"Kalau gitu, ijinkan aku mendaki hatimu dulu. Setelah kumampu menaklukkan gunungan hatimu yang paling tinggi, percayalah, kau kan kuhalalkan. Lalu kuajak mendaki ke puncak manapun kau suka."

Aku akan selalu di sampingmu kala kau lelah dan butuh sandaran. Mengulurkan tangan untuk meraihmu di tebing-tebing yang sulit. Percayalah, pendakianmu kan selalu menyenangkan bersamaku. Lalu setelah pendakian yang sulit itu, akan kuteriakkan "i love you" dari atas puncak gunung agar seluruh alam tahu. Indah bukan?" Jawabnya panjang lebar dengan intonasi yang merdu, dan belum pernah kudengar sebelumnya.



Lagi-lagi ku tak mampu menatap wajahnya, karena tiba-tiba aku terbangun dari tidur siang.



Emaaakk, jebul hanya mimpi hiks

Senin, 11 Mei 2015

Pujangga "Kawak"an



Kumasuki ruangan kelas, dan mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Untuk anak berusia sekitar 4 tahunan, bermain lego termasuk salah satu yang menarik minat mereka. selain aktifitas fisik tentunya. Jangan tanya tentang kegaduhan saat free play ini, bagi yang tidak biasa, aku yakin kondisi seperti ini bisa membuat sakit kepala (haha, curhat). Tapi ini betul.

Anak-anak berlarian, tertawa, bertengkar dan menangis karena berebut mainan itu hal yang lumrah terjadi. Seperti kala itu, baru sebentar kududuk untuk mengawasi dan melepas lelah, tiba-tiba datanglah Yusuf sambil menangis tersedu.

“Ada apa Mas, kok menangis?” Tanyaku sambil menampakkan wajah penasaran (padahal wajah asliku adalah lelah, tetapi menjadi seorang guru TK itu harus lebay, eh tidak harus ding)
“Itu Anes, gak mau berbagi mainannya. Punyaku direbut, padahal dia sudah main balok. Legonya juga diambil.” Ujarnya sambil terisak

Padahal aku sedang lelah, plus pusing. Kondisi seperti ini menguji kesabaranku tiap hari.
“Udah, kamu duduk aja di sini deket Bu Guru. Dengerin ya Yusuf, kamu itu laki-laki kan? Masa sih kamu nangis hanya gara-gara mainan?” ujarku pada laki-laki berusia empat tahun itu, “kamu tahu gak, tidak pantes kamu nangis hanya gara-gara soal sepele seperti itu. Dalam hidup ada hal-hal yang layak kamu tangisi, dan itu bukan mainan.” Ucapku serius sambil menatapnya (Aslinya sih, aku lagi capek dan malas turun tangan, upss)

“Dan aduh, Anes itu perempuan. Masa sih kamu nangis karena perempuan? Ayo kuat, main lagi saja sana. Kalau Anes bikin kamu nangis, ada temen lain yang bisa bikin kamu tertawa.” Aku makin berapi-api
Sungguh aku tidak bohong, Yusuf langsung diam dan mendengarkan. Entah dia mengerti atau tidak. Setelah itu dia langsung beranjak dari dekatku dan bergabung, bermain lagi dengan temannya yang lain. Dan yang aneh justru diriku sendiri. Kenapa bisa ngomong seperti itu pada anak kecil? Aku bengong. Haha 

Padahal seharusnya ketika bicara dengan anak, gunakan bahasa yang mudah dipahami anak. Tapi tak salah juga kita berpujangga pada anak. Siapa tahu kelak kau kan jadi pujangga, Nak. Pujangga betulan tentunya, tidak seperti gurumu ini. Hihi