Jakarta, Pemerintah
telah menginstruksikan beberapa sekolah untuk membuat kelas inklusi
yang menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti
pelajaran bersama teman-temannya yang sebaya.
Hal
ini tentu saja ditanggapi positif oleh banyak orangtua karena mereka
tak lagi merasa kesulitan untuk mencari tempat sekolah yang tepat untuk
anaknya yang menyandang autis, down syndrom dan ADHD.
Namun
beberapa masalah yang muncul adalah beberapa sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi ini ternyata kurang siap, namun
memaksakan diri untuk tetap menggelar kelas inklusi.
Misalnya,
satu kelas ada yang berisi 40 orang, padahal kelas yang ideal untuk
pendidikan inklusi adalah 20 orang per kelas. Dari segi pengajarnya
sendiri terkadang maih bingung saat menghadapi anak-anak autis.
"Hal
lain yang kurang dipersiapkan adalah lingkungan sekolahnya sebab banyak
anak autis yang menjadi korban bullying, dan kasus ini banyak sekali.
Anak normal saja banyak yang dibullying, apalagi anak berkebutuhan
khusus," kata dr Adriana S. Giananjar, M.S., psikolog sekaligus pendiri
sekolah khusus anak autis 'Mandiga' dan dosen psikologi di Universitas
Indonesia dalam acara Cares for Autism yang diselenggarakan London
School of Public Relation di Taman Menteng, Jakarta, Sabtu (14/4/2012).
Mencari
sekolah yang tepat untuk anak autis bisa dibilang susah-susah gampang.
Saat ini memang sudah banyak ditemui pusat pendidikan anak autis, baik
di kota maupun di daerah.
Namun
autisme sendiri merupakan sebuah spektrum gangguan yang luas. Tingkat
keparahan gangguan autis bervariasi pada setiap anak. Orangtua
seringkali dibingungkan dengan pilihan akan memasukkan anaknya yang
menyandang autis ke sekolah umum atau tidak.
Untuk
menentukanya, perlu dilihat kemampuan anak autis tersebut. Apabila
kemampuan verbal, perilaku dan kemampuan kognitifnya cukup baik, maka
anak sebaiknya dimasukkan dalam sekolah inklusi supaya bisa berinteraksi
dengan anak lain dan beradaptasi.
"Tapi
jika kemampuan verbal, perilaku dan kognitinya buruk, maka sebaiknya
jangan dimasukkan sekolah inklusi sebab ia membutuhkan penanganan yang
lebih intensif dan orang-orang yang paham menanganinya," imbuh dr
Adriana.
Dr
Adriana menyarankan kepada orangtua yang sedang mencari sekolah untuk
anaknya yang menyandang autis untuk mengobservasi calon sekolah dan
melihat model pendidikannya.
Sekolah
yang bagus biasanya meminta orangtua membawa anaknya untuk dilakukan
penilaian dan memberilan try out, baru kemudian diberi keputusan bagus
tidaknya masuk sekolah.
"Biasanya
anak autis mendapat terapi waktu masih balita. Ketika menjelang TK
hendak ke SD, biasanya ada laporan dari pihak TK bahwa anak tersebut
memiliki kemampuan dan ketidakmampuan dalam hal tertentu," kata dr
Adriana.
Lebih lanjut lagi, Dr Adriana memberikan tips-tips untuk mencari sekolah yang tepat untuk anak autis:
1.
Ketika hendak mencari sekolah yang tepat, akan lebih baik jika
menanyakan rekomendasi dari beberapa orangtua yang juga memilik anak
autis.
2. Jika telah memiliki daftar sekolah yang dianggap baik, orangtua kemudian mengunjungi sekolah bersama anaknya.
Tujuannya
agar pihak sekolah bisa melihat keadaan anaknya seperti apa. Pada tahap
ini, orangtua jangan menyembunyikan jika anaknya memiliki autis, sebab
bisa menjadi masalah di kemudian hari.
3.
Lakukan observasi pada sekolah mengenai kurikulum, kebijakan mengenai
anak berkebutuhan khusus, juga lingkungan belajarnya untuk menghindari
risiko bullying.
4.
Pihak sekolah kemudian akan meminta anak datang untuk dievaluasi. Jika
anak tersebut dinilai mampu, maka anak diperbolehkan mengikuti kelas.
5.
Biasanya, ada sekolah-sekolah yang menyediakan guru pembantu atau
shadow teacher. Bisa juga pihak sekolah membolehkan orangtua menyertakan
shadow teacher untuk membantu anaknya di kelas.
6.
Shadow teacher ini bertugas khusus mendampingi anak autis untuk
membantu proses belajarnya. Misalnya, guru meminta membuka buku halaman
sekian.
Anak
autis mungkin merasa bingung, maka dia akan dibantu oleh shadow
teacher. Biasanya, shadow teacher ini dibutuhkan saat anak-anak masih
duduk di kelas 1-2 SD. Seiring perkembangan proses belajar shadow
teacher ini biasanya tak dibutuhkan lagi.
sumber : Detikhealth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar